2 Februari 2019 | Kegiatan Statistik Lainnya
Oleh: Christiayu Natalia (Statistisi Ahli Pertama BPS Provinsi NTT)
Nawacita, inilah sembilan agenda prioritas pemerintah saat ini. Pada poin ketiga disebutkan bahwa prioritas pembangunan pemerintah adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Rasanya, poin ini menimbulkan suatu pertanyaan. Mengapa pemerintah lebih memprioritaskan untuk membangun dari titik-titik terluar, daripada membangun dari pusat-pusat peradaban kota? Bukankah akan lebih mudah, jika pembangunan dilakukan dari pusat-pusat peradaban dengan segala kemudahan akses dan ketersediaan sumber daya yang memadai? Pertanyaan ini akan dapat dengan mudah terjawab, apabila kita dapat melihat dari sudut pandang yang lain dan mengingat bahwa sesungguhnya Indonesia besar dan berakar pada kehidupan desa.
Desa sebagai bentuk pemerintahan
dalam lingkup terkecil, merupakan inti dari suatu peradaban masyarakat yang
lebih luas. Berdasarkan hasil pendataan Potensi Desa (Podes) 2018 yang telah
dilaksanakan dan hasilnya baru saja dirilis oleh Badan Pusat Statistik, di
Indonesia pada tahun 2018 terdapat 83.931 wilayah administrasi pemerintahan
setingkat desa. Desa-desa inilah yang sedang menjadi titik tolak pembangunan
yang diprioritaskan oleh pemerintah saat ini. Di Provinsi NTT sendiri, terdapat
3.353 wilayah administrasi pemerintahan setingkat desa. Dari seluruh desa
tersebut, hingga tahun 2018, baru sembilan desa saja yang berpredikat desa
mandiri dan masih terdapat 1.094 desa yang tergolong dalam desa tertinggal.
Jumlah desa tertinggal yang masih besar inilah yang perlu menjadi perhatian
khusus, untuk dientaskan hingga suatu saat dapat berkembang menjadi desa-desa
mandiri. Lalu, perlukah kiat-kiat khusus untuk keluar dari predikat desa
tertinggal?
Kaya, bukan langkah yang mudah
untuk mengubah pola pikir dan meyakinkan suatu kelompok masyarakat bahwa
sesungguhnya mereka kaya. Masyarakat NTT secara umum telah terkungkung pada
suatu pemikiran bahwa mereka adalah masyarakat yang miskin, tertinggal, dan
terbelakang. Dalam berbagai kesempatan, masih banyak diberitakan bahwa NTT
selalu berteman baik dengan segala kemiskinan dan kekurangannya, tanpa melihat
bahwa sesungguhnya masih banyak kekayaan yang tersimpan, hanya saja memang
belum tergali karena masyarakatnya masih berpola pikir bahwa mereka
berkekurangan. Maka membangun kepercayaan diri masyarakat desa di NTT adalah
suatu hal yang mutlak harus dilakukan.
Setiap desa tentunya memiliki
kekayaan tersendiri yang sayangnya masih belum sepenuhnya di eksplorasi dengan
optimal. Lalu, potensi apa yang sesungguhnya tersedia pada desa-desa di NTT?
Pariwisata dapat menjadi salah satu sektor yang dapat dieksplorasi lebih
optimal, di kepulauan Nusa Tenggara (termasuk di dalamnya Provinsi NTT) dari
172 desa potensi wisata pada tahun 2014 telah bertambah menjadi 232 desa pada
tahun 2018. Potensi pariwisata yang cukup menjanjikan akan terkoneksi dengan
sektor-sektor lain seperti industri kecil dan mikro, yang ternyata juga
mengalami peningkatan. Dibandingkan dengan 4 tahun sebelumnya, industri barang
dari kayu, industri gerabah/keramik/batu, serta industri dari kain tenun
seluruhnya mengalami peningkatan jumlah. Hasil yang lain dari pendataan Potensi
Desa 2018 adalah jumlah desa yang memiliki produk unggulan, terdapat 1031
desa/kelurahan baik dalam bentuk makanan maupun non-makanan. Bahkan yang lebih
membanggakan, sudah terdapat 55 desa yang bisa mengekspor produk unggulannya.
Berbagai potensi inilah yang perlu dijaga dan ditingkatkan, agar masyarakat
desa di NTT memiliki kepercayaan diri dan keyakinan bahwa mereka kaya. Lalu,
dengan dengan menjadi sadar bahwa desanya kaya, cukupkah berhenti pada titik
kesadaran ini?
Berdaya berarti memiliki
kekuatan yang bisa ditunjukkan, untuk membawa kesejahteraan bagi seluruh warga
desanya bahkan memberi efek bagi peradaban di luar desanya. Desa harus berdaya
jika tidak ingin terus menerus terancam bahaya. Bahaya kemiskinan di pedesaan,
bahaya meningkatnya jumlah pemuda yang menganggur karena tidak tersedianya
lapangan pekerjaan yang memadai di desa. Bahaya dari semakin bertambahnya
jumlah penduduk desa yang lebih memilih untuk mengadu nasib menjadi pahlawan
devisa sebagai TKI dan TKW di negeri orang dengan berbagai permasalahan yang
ditimbulkan. Bahaya yang berasal dari tekanan ritual budaya yang membentuk
rantai kemiskinan. Segala bahaya ini harus dihalau dengan kemampuan desa untuk
berdaya.
Kaya berdaya, sesungguhnya
adalah dua kondisi yang saling berkaitan. Menjadi berdaya harus dimulai dari
segala kekayaan potensi yang ada. Berdaya berawal dari kemampuan melihat dan
memilah potensi yang dapat dimaksimalkan. Memang tidak akan menjadi suatu yang
mudah untuk mengambil langkah berani untuk berdaya. Dibutuhkan kesadaran dan
kerjasama yang baik dari seluruh aparatur pemerintah dan warga desa, untuk
bersama-sama mengambil peran aktif membangun desanya. Mengoptimalkan penggunaan
dana desa, mengoptimalkan peran Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) untuk membangun
desa mungkin bisa menjadi salah satu contoh tindakan nyata. Kebebasan bagi
pemerintah setingkat desa untuk mengatur dan mengambil kebijakan, hendaknya disikapi
sebagai sebuah kesempatan yang harus digunakan secara optimal untuk menjadi
berdaya.
Mari mulai melihat keluar,
bagaimana desa-desa lain di luar NTT telah berhasil melakukannya. Sebagai
contoh, Desa Pujon Kidul di Kabupaten Malang, Jawa Timur yang telah berhasil
menjadi desa yang kaya dan berdaya. Berangkat dari kesadaran akan kekayaan di
bidang pertanian, mereka berhasil mengoptimalkan kekayaan itu, dengan membuat
suatu desa agrowisata yang hasilnya tidak main-main. Desa agrowisata ini telah
berhasil mendatangkan omset miliaran, membuka lapangan kerja yang luas bagi
para pemuda desa, dan berbagai penghargaan pun berhasil mereka peroleh.
Desa Kaya Berdaya, dapat pula
terwujud dalam langkah lebih mendasar seperti yang telah dilakukan Desa Silawan
di Kabupaten Belu. Desa yang terletak di pintu gerbang Indonesia ini, telah
berhasil menjadi desa yang berdaya. Desa Silawan lebih memilih untuk
memperbaiki infrastruktur mendasar yaitu ketersediaan aliran listrik.
Pengalokasian dana desa yang tepat dan kerjasama dengan PT. PLN telah berhasil
menerangi rumah-rumah warga dengan aliran listrik, suatu kebutuhan mendasar
yang sangat menunjang dan berdampak bagi segala aspek kehidupan masyarakat
desanya. Melalui ketersediaan aliran listrik, kekayaan yang dimiliki oleh Desa
Silawan dapat mulai digali, para warga perempuan dapat tetap menenun di waktu
malam, karena penerangan listrik sudah memadai.
Setiap desa di NTT memiliki
karakteristik kekayaan masing-masing. Ada sangat banyak kampung-kampung adat,
begitu banyak ragam kerajinan tenun ikat, serta begitu banyak jenis kesenian
tradisional yang dimiliki. Pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan yang
mendasar juga sangat mungkin menjadi alternatif untuk mencapai tujuan kaya
berdaya. NTT hanya tengah menunggu dimulainya pergerakan dari warga desanya
untuk sadar dan siap berjuang menjadi desa kaya berdaya.
Desa kaya berdaya sejatinya
bukan sebatas impian, inilah tujuan yang perlu diperjuangkan untuk dicapai.
Akan sangat banyak efek ikutan yang muncul seiring dengan pemberdayaan desa.
Melalui desa kaya berdaya, target pemerintah daerah untuk menekan angka
kemiskinan dari 21 persen menjadi 12 persen, nampaknya bukan sesuatu yang
mustahil. Berdaya memang butuh upaya, berdaya memang butuh tenaga, selamat
berdaya! (*)
Sumber: https://timorexpress.fajar.co.id/2019/02/02/desa-kaya-berdaya/
Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur (Statistics of Nusa Tenggara Timur Province)Jl. R. Suprapto No. 5 Kupang - 85111
Telp (0380) 826289
821755
Faks (0380) 833124
Mailbox : pst5300@bps[dot]go[dot]id
bps5300@bps[dot]go[dot]id
Tentang Kami