13 Februari 2019 | Kegiatan Statistik Lainnya
Oleh : I Made Wahyu Dwi Septika, SST
Staf Seksi Statistik Distribusi
BPS Kabupaten Manggarai Timur
SALAH satu program prioritas nasional dalam rangka pembangunan kesehatan
Indonesia difokuskan pada penurunan prevalensi balita stunting.
Menurut World Health Organization (WHO), stunting (kerdil) merupakan salah
satu kondisi dimana tinggi badan seorang bayi berusia di bawah lima tahun
(balita) jauh lebih pendek dibandingkan tinggi badan orang seusianya.
Kekurangan asupan gizi selama proses kehamilan atau tidak terpenuhinya
kebutuhan nutrisi selama masa pertumbuhan kritis anak, yakni 1000 hari pertama
dalam hidup dapat memicu kondisi tumbuh kerdil (stunded).
Namun, apakah seluruh balita yang bertubuh pendek langsung dapat
dikategorikan sebagai balita stunting?
Kasus balita stunting hanya dapat diketahui ketika seorang balita sudah
diukur tinggi badannya kemudian dibandingkan dengan standar baku tinggi badan menurut
kelompok usia sang balita dan hasil pengukuran tersebut berada pada kisaran di
bawah normal.
Jadi, kondisi balita stunting tidak bisa langsung disimpulkan tanpa ada
pengukuran yang jelas.
Pengetahuan masyarakat terkait kasus balita stunting masih sangat rendah.
Masyarakat beranggapan bahwa keadaan fisik yang kerdil lebih hanya dikarenakan
faktor keturunan atau pun genetika.
Seringkali kondisi tinggi badan balita yang lebih rendah dari standar
seusianya dianggap sesuatu yang tidak harus dikhawatirkan.
Padahal, bisa saja sang balita mengalami kekurangan gizi dalam waktu yang
lama sehingga termasuk balita stunting.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan bahwa prevalensi balita
stunting nasional adalah sebesar 30,8 persen pada tahun 2018.
Artinya hampir sepertiga dari jumlah balita Indonesia mengalami masalah gizi
yang mengakibatkan tinggi badan balita yang lebih rendah dari kelompok
seusianya.
Angka tersebut masih jauh di atas batas yang ditetapkan oleh WHO yakni
sebesar 20 persen.
Bahkan, rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia selama 2005-2017
adalah 36,4 persen dimana termasuk sebagai negara ketiga dengan prevalensi
tertinggi di regional South-East Asia di bawah Timor Leste dan India.
Selain perkembangan fisik yang terhambat, stunting juga dapat mengakibatkan
balita mengalami perkembangan otak (kognitif) yang tidak maksimal sehingga
kondisi mental dan kemampuan berpikir anak menjadi lemah.
Alhasil, kualitas sumber daya penerus bangsa menjadi sangat rendah dan
beresiko pada menurunnya tingkat produktivitas.
Secara makro ekonomi, kasus stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi,
memperparah kemisikinan, dan memperbesar ketimpangan pendapatan di masa yang
akan datang.
Bambang Brodjonegoro, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
(Bappenas), menyampaikan bahwa dalam jangka panjang stunting menimbulkan
kerugian ekonomi sebesar 2-3 persen dari produk domestik bruto (PDB) per tahun.
Hal tersebut dikarenakan balita yang mengalami kondisi stunting berpeluang
mendapatkan penghasilan 20 persen lebih rendah dibandingkan balita yang tidak
mengalami stunting ketika dewasa nanti.
Jika menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS), PDB Indonesia
tahun 2018 sebesar Rp.14.837 triliun makadiperkirakan potensi kerugian akibat
stunting sekitar Rp. 297-445 triliun per tahun.
Balita Stunting di Nusa Tenggara Timur
Berdasarkan Riskesdas 2018, prevalensi balita stunting di Nusa Tenggara
Timur (NTT) menempati posisi puncak yakni sebesar 42,6 persen atau tertinggi
dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia.
Jika estimasi jumlah balita NTT sebanyak 633 ribu jiwa (BPS) maka terdapat
270 ribu jiwa anak-anak di Bumi Flobamora mengalami masalah gizi dimana tinggi
badannya tidak sesuai dengan umur mereka.
Tingginya prevalensi balita stunting didukung oleh proporsibalita dengan
gizi buruk yang cukup besar yakni 29,5 persen. Artinya bahwa tiga dari sepuluh
balita di NTT mengalami gizi buruk.
Angka ini lebih tinggi dibandingkan proporsi balita gizi buruk di tingkat
nasional yaitu sebesar 17,7 persen. Selain itu, persentase penduduk miskin NTT
pada September 2018 sebesar 21,03 persen.
Angka tersebut memang lebih rendah dibanding empat tahun terakhir yakni
sebesar 22,58 persen pada September 2015. Namun, proporsi penduduk miskin NTT
tergolong cukup tinggi dan berada pada posisi ketiga di bawah Papua dan Papua
Barat.
Kondisi kemiskinan sejalan dengan rendahnya daya beli masyarakat sehingga
kesulitan dalam akses terhadap bahan makanan yang bergizi.
Upaya pencegahan terhadap stunting bertujuan agar generasi penerus bangsa
dapat berkembang secara optimal dengan pertumbuhan fisik yang baik disertai perkembangan
mental, emosional dan kemampuan berpikir.
Pemenuhan kebutuhan gizi dan peningkatan layanan kesehatan serta pola asuh
yang tepat merupakan dua hal yang perlu diperhatikan dalam upaya pencegahan
stunting.
Pemenuhan Gizi dan Peningkatan Pelayanan Kesehatan
Pencegahan terhadap stunting perlu dilakukan sedini mungkin, yakni sejak ibu
sedang mengandung. Harus dipastikan bahwa asupan gizi bagi ibu hamil terpenuhi.
Maka dari itu, ibu hamil dianjurkan mengkonsumsi makanan bergizi selama masa
kehamilan. Ibu hamil dapat mengonsumsi suplemen zat besi sesuai anjuran dokter
jika dibutuhkan.
Selain itu, ibu hamil harus memastikan kondisi kehamilan dengan cara
melakukan cek kesehatan secara rutin ke bidan atau dokter atau sering disebut
dengan pelayanan antenatal.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (Kemeskes) tahun 2017,
persentase rata-rata cakupan pelayanan antenatal K1 di NTT adalah sebesar 78,2
persen.
Artinya bahwa dari 100 orang ibu hamil sebanyak 78 orang yang melakukan
kunjungan pertama ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk memeriksakan
kehamilan.
Sementara itu, persentase rata-rata cakupan pelayanan antenatal K4 yakni
sebesar 56,6 persen.
Hal ini menandakan bahwa dari 100 orang ibu hamil hanya 56 orang yang
mendapatkan pelayanan sesuai standar yakni paling sedikit empat kali kunjungan
dengan distribusi sekali pada trisemester pertama, sekali pada trisemester
kedua dan dua kali pada trisemester ketiga.
Padahal, Rencana Strategis (Renstra) Dinas Kesehatan Provinsi NTT untuk
cakupan pelayanan K4 sebesar 95 persen.
Jika melihat konsumsi masyarakat NTT, rata-rata konsumsi kalori perkapita
sehari adalah sebesar 2.031,60 kkal dimana sumber kalori terbesar berasal dari
padi-padian (1.217,45 kkal) dan umbi-umbian (60,24 kkal.
Angka ini menunjukkan konsumsi beras sehari-hari cukup tinggi atau dengan
kata lain porsi olahan beras banyak tersaji dalam piring makanan masyarakat
NTT.
Fakta yang menarik lainnya, rata-rata konsumsi protein perkapita perhari
sebesar 55,92 gram yang justru sumber terbanyak dari padi-padian (28,90 gram).
Sebagai provinsi kepulauan, rata-rata konsumsi protein perkapita dari
kelompok ikan hanya sebesar 6,72 gram perhari sedangkan untuk konsumsi makanan
sumber protein lainnya seperti daging, telur, dan susu masih rendah.
Bahkan, proporsi bayi berusia di bawah dua tahun (baduta) yang mendapatkan
makanan beragam sekitar 23 persen.
Perlu adanya sosialisasi akan pentingnya gizi seimbang dalam porsi piring
makanan perhari karena tujuan mengonsumsi makanan tidak hanya sekadar untuk
mengatasi rasa lapar, akan tetapi untuk memenuhi kebutuhan gizi tubuh.
Pola Asuh yang Tepat
Berdasarkan data Kemenkes, proporsi inisiasi menyusui dini (IMD) untuk bayi
baru lahir yaitu 75,26 persen. Artinya delapan dari sepuluh bayi baru lahir
sudah mendapat inisiasi menyusui dini.
Selanjutnya, proporsi bayi yang mendapat air susu ibu (ASI) ekslusif sebesar
79,45 persen. ASI ekslusif merupakan sumber nutrisi bagi sejak bayi lahir yang
tentunya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhannya terutama risiko terjadinya
stunting.
Riskesdas menunjukkan baduta yang mendapatkan imunisasi dasar lengkap
sekitar 53 persen yang artinya baru setengah baduta yang mendapatkan imunisasi
dasar lengkap.
Begitu juga dengan kecukupan vitamin, hanya setengah dari balita (50 persen)
yang mendapatkan capsul vitamin A dalam 12 bulan terakhir.
Pemantauan pertumbuhan balita juga masih rendah. Hanya sekitar 64 persen
balita yang pertumbuhan tubuhnya diukur lebih dari delapan kali selama 12 bulan
terakhir sedangkan balita yang ditimbang kurang dari delapan kali sekitar 33
persen dan sisanya tidak pernah diukur pertumbuhannya.
Perlu adanya penyebaran informasi yang masif dan tepat sasaran terkait
pencegahan stunting. Ibu dan calon ibu harus memenuhi kebutuhan gizi sebelum
maupun saat proses kehamilan.
Selain itu, wajib mengetahui pentingnya ASI bagi tumbuh kembang bayi dengan
memberikan hanya ASI ekslusif untuk bayi hingga berusia enam bulan kemudian
memberikan makanan pendamping ASI sampai dengan usia dua tahun.
Jangan lupa juga untuk memantau pertumbuhan bayi dan balita dengan menimbang
di posyandu, puskesmas, atau fasilitas kesehatan lainnya.
Selain itu, berikan kekebalan tubuh pada balita melalui imunisasi yang
lengkap agar tahan dari berbagai penyakit.
Pencegahan stunting berawal dari masing-masing keluarga. Tiap keluarga harus
memastikan anak-anaknya tidak hanya kenyang namun juga berkecukupan gizi.
Selain itu, memantau pertumbuhan balita menjadi sebuah keharusan untuk
memastikan bahwa tidak terdapat masalah pada perkembangan sang buah hati.
Dibutuhkan juga peran pemerintah dalam membentuk regulasi dan program kebijakan
yang tepat sasaran.
Jangan sampai generasi masa depan bangsa memiliki fisik dan kemampuan
berpikir yang lemah ! Maka dari itu, melawan stunting itu penting. (*)
Sumber: http://kupang.tribunnews.com/2019/02/13/melawan-stunting-itu-penting
Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur (Statistics of Nusa Tenggara Timur Province)Jl. R. Suprapto No. 5 Kupang - 85111
Telp (0380) 826289; 821755; Faks (0380) 833124
Mailbox : pst5300@bps[dot]go[dot]id
bps5300@bps[dot]go[dot]id
Tentang Kami