[OPINI] NTT dan Alunan Berjuta Simfoni - Berita - Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur

Untuk layanan konsultasi data silahkan hubungi kami melalui 082247291975 (whatsapp only) atau melalui email pst5300@bps.go.id

Anda merasa pelayanan kami kurang optimal? Laporkan pengaduan anda disini 

| Anda hobi menulis? Submit Karya Ilmiahmu di Jurnal Statistika Terapan (JSTAR) BPS Provinsi NTT melalui tautan jstar.id

[OPINI] NTT dan Alunan Berjuta Simfoni

[OPINI] NTT dan Alunan Berjuta Simfoni

8 Maret 2017 | Kegiatan Statistik Lainnya


Oleh Angela Regina Maria Wea
Warga Kota Kupang

 

POS KUPANG.COM - Posisi NTT dalam kemiskinan sudah disampaikan kepada publik. Tak seorang pun membantah namun di luar itu, sedikit sekali terdapat persesuaian pendapat. Setiap pembahasan mengawalinya dengan merumuskan seketat mungkin apa yang dimaksudkan dengan kemiskinan itu.Terlebih lagi adanya pertanyaan terhadap universalisme konsep kemiskinan.

Dalam masalah sosial-ekonomi-politik,ada adagium "beauty is in the eye of the beholder" kecantikan ditentukan oleh mata yang memandang: kalau ada seribu pasang mata maka ada seribu jenis kecantikan. Kadang-kadang orang gemuk dikatakan cantik, di saat lain lagi orang kurus mengambil alih posisi cantik. Semuanya atas nama kecantikan. Ini berarti antropologi meniadakan konsep universal kecantikan (Dhakidae, 2015).

Penduduk miskin selalu dikatakan sebagai bagian dari kelompok manusia yang tidak bersuara atau suaranya tak terdengar. Suara adalah syarat pertama untuk berbicara,maka kalau kelompok ini tidak bersuara, hampir pasti inilah kelompok yang tidak berkata-kata alias silent majority. Hal ini memperpanjang misteri tentang kemiskinan yang begitu nyata, tetapi sekaligus juga begitu misterius.

Meskipun silent majority, bukan berarti mereka tidak bahagia. Mereka menyanyi saat ke kebun, panen, dan bahkan pada saat kematian pun mereka melahirkan rasa sedihnya dengan melagukan sajak yang tersusun rapi dalam bentuk nyanyian. Timbul pertanyaan pantaskah kita menyatakan bahwa orang NTT itu miskin sementara banyak pendapat mengatakan orang miskin itu tidak gembira, kapan pun, di manapun mereka berada, dalam rumah kolong, rumah tanah, dan di pondok.

Max Weber, seorang Jerman pernah menulis ketika mengunjungi Flores sekitar tahun 1800-an, ia mendengar suara orang bernyanyi di padang rumput, di balik bukit dan lembah, di mana-mana ia mendengar suara orang bernyanyi dalam kelompok,sangat musikal, hal yang tidak ia temukan ketika berkunjung ke pulau lain seperti Jawa dan Sumatera.

Tentang kebahagiaan, Bob Sadino menulis, "Di saat kita memakai jam tangan seharga lima ratus ribu atau lima ratus juta, kedua jam itu menunjukkan waktu yang sama. Kita tinggal di rumah seluas lima puluh meter persegi atau lima ribu meter persegi kesepian yang kita alami tetap sama. Ketika kita terbang dengan first class atau economy class, saat pesawat terbang itu jatuh, kita semua jatuh". Ini membuat kemiskinan sulit dijelaskan bila dilihat dari konteks kebahagiaan, dan karena itu kita perlu mencari fenomena tersebut dalam konteks lain.

Konteks ekonomi-politik diharapkan mampu menjelaskan fenomena kemiskinan NTT. Dhakidae (2015) melukiskan NTT sebagai wilayah yang di dalam pelbagai analisis ekonomi-politik dimasukkan ke dalam kategori belum atau tidak disentuh sepenuhnya oleh aparat negara. Frans Seda yang perannya luar biasa mengubah peta sosial politik dan ekonomi negara ini, sempat mengalami semacam penyakit sosial yaitu kompleks rendah diri, minderwaardigheidcomplex, terutama karena latar belakang sosial dan ekonomis memaksanya untuk masuk ke dalam golongan minoritas kembar: minoritas etnis dan minoritas agama.

Dia berasal dari suatu wilayah yang tidak banyak artinya dalam pentas politik dan ekonomi bangsa ini (Dhakidae, 2015). Baru pada tahun 1904, setelah Perang Aceh, wilayah ini dimasukkan ke dalam administrasi kolonial Belanda. Namun, ini sama sekali tidak berarti bahwa kekuatan yang mendekati kekuatan negara tidak pernah menyentuh wilayah ini. Sejak pertengahan abad ke-15 mendekati abad ke-16, Portugis cukup memiliki kekuatan untuk menaklukkan beberapa daerah di wilayah ini. Namun, penguasaan secara birokratik tidak pernah berlangsung sampai Portugis dikalahkan Belanda tahun 1859. Demikian juga institusi tidak pernah tercipta. Satu-satunya lembaga yang bisa dibandingkan dengan suatu lembaga negara yaitu lembaga yang berurusan dengan rahmat, yaitu gereja.

Flores baru masuk ke dalam perhitungan Belanda ketika perjanjian dengan Portugis tahun 1851 menyerahkan Flores kepada Belanda. Itu pun terhadap Flores adalah "onthouding", menjaga jarak, "niet bestuuren", tidak memerintah, atau yang secara tegas dikatakan "tidak memerintah, menjauhkan diri dari semua urusan, cukup dengan mengawasi".

Semuanya itu tentu saja dengan banyak alasan; akan tetapi salah satu alasan adalah Belanda menganggap bahwa wilayah Timor dan sekitarnya adalah, sebagaimana dikatakan kepala pemerintahan di Ende, Civiel Gezaghebber, "bahwa Residensi Timor adalah pos beban, dan akan selalu menjadi beban sampai kapan pun" (Baca de Vries, "Nota van Bestuursovergave Opmerking", Onderafdeeling Endeh, Residentie Timor en Onderhoorigheden, 15 Mei 1910 di dalam Dhakidae dan Biaedae, 2006).
Informasi yang serba sedikit ini sangat berarti untuk memahami lingkungan sosial ekonomi NTT. Dengan melakukan reading back on to history, memaksakan tafsiran masa kini ke masa lalu, boleh jadi beban yang disebutkan Civiel Gezaghebber terkait kondisi lingkungan kepulauan NTT yang dipengaruhi iklim tropis semi aride.

Kondisi geografis NTT sangat rentan terhadap ketersediaan pangan yang terkait peralihan musim. Di NTT umumnya petani/peladang lahan kering dengan ciri: air sepenuhnya tergantung hujan, musim tanam sekali setahun, komoditas terbatas hanya untuk konsumsi, daya beli rendah, daya menabung juga kecil, teknologi rendah sehingga produksi juga rendah (Arjana, 2010).Dengan kondisi ini, Residensi Timor tidak menjadi sumber upeti untuk Belanda, justru menjadi beban karena Belanda harus membayar gaji bagi pegawai, semisal controlleur, asisten residen, dan para staf.

Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) menunjukkan rasio ketergantungan NTT tahun 2015 sebesar 71,40 persen, jauh dari kondisi ideal 44 persen atau kondisi minimal 50 persen untuk mendapatkan bonus demografi. Setiap 100 orang penduduk NTT usia produktif menanggung sekitar 71 orang usia non produktif. Rasio ketergantungan yang tinggi tersebut menyiratkan bahwa tiap pencari nafkah menyokong sejumlah besar orang sehingga memerlukan penghasilan yang lebih besar untuk bisa keluar dari kemiskinan.

Dalam hal kemiskinan, pengukuran didasarkan pada pengeluaran perkapita per bulan, yang diperoleh dari besarnya uang yang dikeluarkan untuk konsumsi baik dalam bentuk pengeluaran riil untuk beli makanan maupun pengeluaran yang tidak riil yaitu hasil konversi untuk konsumsi makanan yang berasal dari kebun sendiri, hasil tangkapan sendiri atau pemberian orang lain. Begitupun untuk konsumsi non makanan.Untuk konsumsi makanan, batas dikatakan tidak miskin yaitu tercukupinya kalori sebesar 2.100 kkal per kapita dalam sehari.

Lain sudut pandang, lain titik tampak. Ketika kita melihat orang miskin di Jawa dapat terjadi salah tafsir dalam pemaknaan penduduk miskin bagi orang NTT. Di Jawa banyak penduduk miskin hidup di kolong jembatan, sedangkan banyak sungai di NTT tidak memiliki jembatan, karena itu pemaknaan komprehensif tentang kemiskinan akan menghindari kita dari pemaknaan verbal, tetapi kepada locus, tempus dan historikal peradaban NTT.

Peluang mengkaji ulang selalu ada,tetapi bila kita melihat konsep kemiskinan dalam konteks kepentingan negara hadir untuk mensejahterakan penduduk kita dapat mengambil peran untuk mengkampanyekan pentingnya pola makan yang sehat dan meningkatkan teknik pengolahan makanan kita sebagai prasyarat tercukupinya kebutuhan kalori mininal.

Pepatah Inggris mengatakan you are what you eat. Standar 2.100 kkal tidak harus dalam bentuk nasi, tidak harus daging, kalori bisa dari beragam bahan makanan lokal yang kita miliki seperti uta tabha di Bajawa, uwi ai ndota di Ende, sayur marungga, asalkan total kalori 2.100 kkal terpenuhi karena sejumlah itulah standar kebutuhan kalori minimal bagi seseorang dapat bertahan hidup. Dengan pengakuan, kita akan mengambil peran.Konsep kemiskinan akan menjadi solusi, bukan lagi masalah.

Semoga kita tidak sampai pada pameo, kemiskinan hanya bisa dimengerti orang miskin. Jepang bisa "lari" karena adanya pengakuaan akan kepentingan bersama untuk menjadi negara adi daya setelah kalah total dari Sekutu. Solo naik pesat karena ingin maju.Orang Dayak berkembang karena tidak mau disebut terisolir. NTT pun maju bila kita menyadari kepentingan besar untuk mensejahterakan penduduk di daerah dimana berjuta simfoni mengalun tanpa henti.


Sumber: http://kupang.tribunnews.com/2017/03/08/ntt-dan-alunan-berjuta-simfoni

Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur (Statistics of Nusa Tenggara Timur Province)Jl. R. Suprapto No. 5 Kupang - 85111

Telp (0380) 826289; 821755; Faks (0380) 833124

Mailbox : pst5300@bps[dot]go[dot]id

bps5300@bps[dot]go[dot]id

logo_footer

Tentang Kami

Manual

S&K

Daftar Tautan

Hak Cipta © 2023 Badan Pusat Statistik