8 Maret 2017 | Kegiatan Statistik Lainnya
Oleh
Angela Regina Maria Wea
Warga Kota Kupang
POS
KUPANG.COM - Posisi NTT dalam kemiskinan sudah disampaikan kepada
publik. Tak seorang pun membantah namun di luar itu, sedikit sekali terdapat
persesuaian pendapat. Setiap pembahasan mengawalinya dengan merumuskan seketat
mungkin apa yang dimaksudkan dengan kemiskinan itu.Terlebih lagi adanya
pertanyaan terhadap universalisme konsep kemiskinan.
Dalam
masalah sosial-ekonomi-politik,ada adagium "beauty is in the eye of the
beholder" kecantikan ditentukan oleh mata yang memandang: kalau ada seribu
pasang mata maka ada seribu jenis kecantikan. Kadang-kadang orang gemuk
dikatakan cantik, di saat lain lagi orang kurus mengambil alih posisi cantik.
Semuanya atas nama kecantikan. Ini berarti antropologi meniadakan konsep
universal kecantikan (Dhakidae, 2015).
Penduduk
miskin
selalu dikatakan sebagai bagian dari kelompok manusia yang tidak bersuara atau
suaranya tak terdengar. Suara adalah syarat pertama untuk berbicara,maka kalau
kelompok ini tidak bersuara, hampir pasti inilah kelompok yang tidak
berkata-kata alias silent majority. Hal ini memperpanjang misteri tentang
kemiskinan yang begitu nyata, tetapi sekaligus juga begitu misterius.
Meskipun
silent majority, bukan berarti mereka tidak bahagia. Mereka menyanyi saat ke
kebun, panen, dan bahkan pada saat kematian pun mereka melahirkan rasa sedihnya
dengan melagukan sajak yang tersusun rapi dalam bentuk nyanyian. Timbul
pertanyaan pantaskah kita menyatakan bahwa orang NTT itu miskin
sementara banyak pendapat mengatakan orang miskin
itu tidak gembira, kapan pun, di manapun mereka berada, dalam rumah kolong,
rumah tanah, dan di pondok.
Max
Weber, seorang Jerman pernah menulis ketika mengunjungi Flores sekitar tahun
1800-an, ia mendengar suara orang bernyanyi di padang rumput, di balik bukit
dan lembah, di mana-mana ia mendengar suara orang bernyanyi dalam
kelompok,sangat musikal, hal yang tidak ia temukan ketika berkunjung ke pulau
lain seperti Jawa dan Sumatera.
Tentang
kebahagiaan, Bob Sadino menulis, "Di saat kita memakai jam tangan seharga
lima ratus ribu atau lima ratus juta, kedua jam itu menunjukkan waktu yang
sama. Kita tinggal di rumah seluas lima puluh meter persegi atau lima ribu
meter persegi kesepian yang kita alami tetap sama. Ketika kita terbang dengan
first class atau economy class, saat pesawat terbang itu jatuh, kita semua
jatuh". Ini membuat kemiskinan sulit dijelaskan bila dilihat dari konteks
kebahagiaan, dan karena itu kita perlu mencari fenomena tersebut dalam konteks
lain.
Konteks
ekonomi-politik diharapkan mampu menjelaskan fenomena kemiskinan NTT. Dhakidae
(2015) melukiskan NTT sebagai wilayah yang di dalam pelbagai analisis
ekonomi-politik dimasukkan ke dalam kategori belum atau tidak disentuh
sepenuhnya oleh aparat negara. Frans Seda yang perannya luar biasa mengubah
peta sosial politik dan ekonomi negara ini, sempat mengalami semacam penyakit
sosial yaitu kompleks rendah diri, minderwaardigheidcomplex, terutama karena
latar belakang sosial dan ekonomis memaksanya untuk masuk ke dalam golongan
minoritas kembar: minoritas etnis dan minoritas agama.
Dia
berasal dari suatu wilayah yang tidak banyak artinya dalam pentas politik dan
ekonomi bangsa ini (Dhakidae, 2015). Baru pada tahun 1904, setelah Perang Aceh,
wilayah ini dimasukkan ke dalam administrasi kolonial Belanda. Namun, ini sama
sekali tidak berarti bahwa kekuatan yang mendekati kekuatan negara tidak pernah
menyentuh wilayah ini. Sejak pertengahan abad ke-15 mendekati abad ke-16,
Portugis cukup memiliki kekuatan untuk menaklukkan beberapa daerah di wilayah
ini. Namun, penguasaan secara birokratik tidak pernah berlangsung sampai
Portugis dikalahkan Belanda tahun 1859. Demikian juga institusi tidak pernah
tercipta. Satu-satunya lembaga yang bisa dibandingkan dengan suatu lembaga
negara yaitu lembaga yang berurusan dengan rahmat, yaitu gereja.
Flores
baru masuk ke dalam perhitungan Belanda ketika perjanjian dengan Portugis tahun
1851 menyerahkan Flores kepada Belanda. Itu pun terhadap Flores adalah
"onthouding", menjaga jarak, "niet bestuuren", tidak
memerintah, atau yang secara tegas dikatakan "tidak memerintah, menjauhkan
diri dari semua urusan, cukup dengan mengawasi".
Semuanya
itu tentu saja dengan banyak alasan; akan tetapi salah satu alasan adalah
Belanda menganggap bahwa wilayah Timor dan sekitarnya adalah, sebagaimana
dikatakan kepala pemerintahan di Ende, Civiel Gezaghebber, "bahwa
Residensi Timor adalah pos beban, dan akan selalu menjadi beban sampai kapan
pun" (Baca de Vries, "Nota van Bestuursovergave Opmerking",
Onderafdeeling Endeh, Residentie Timor en Onderhoorigheden, 15 Mei 1910 di
dalam Dhakidae dan Biaedae, 2006).
Informasi yang serba sedikit ini sangat berarti untuk memahami lingkungan
sosial ekonomi NTT. Dengan melakukan reading back on to history, memaksakan
tafsiran masa kini ke masa lalu, boleh jadi beban yang disebutkan Civiel
Gezaghebber terkait kondisi lingkungan kepulauan NTT yang dipengaruhi iklim
tropis semi aride.
Kondisi
geografis NTT sangat rentan terhadap ketersediaan pangan yang terkait peralihan
musim. Di NTT umumnya petani/peladang lahan kering dengan ciri: air sepenuhnya
tergantung hujan, musim tanam sekali setahun, komoditas terbatas hanya untuk
konsumsi, daya beli rendah, daya menabung juga kecil, teknologi rendah sehingga
produksi juga rendah (Arjana, 2010).Dengan kondisi ini, Residensi Timor tidak
menjadi sumber upeti untuk Belanda, justru menjadi beban karena Belanda harus membayar
gaji bagi pegawai, semisal controlleur, asisten residen, dan para staf.
Hasil
Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) menunjukkan rasio ketergantungan NTT tahun
2015 sebesar 71,40 persen, jauh dari kondisi ideal 44 persen atau kondisi
minimal 50 persen untuk mendapatkan bonus demografi. Setiap 100 orang penduduk
NTT usia produktif menanggung sekitar 71 orang usia non produktif. Rasio
ketergantungan yang tinggi tersebut menyiratkan bahwa tiap pencari nafkah
menyokong sejumlah besar orang sehingga memerlukan penghasilan yang lebih besar
untuk bisa keluar dari kemiskinan.
Dalam
hal kemiskinan, pengukuran didasarkan pada pengeluaran perkapita per bulan,
yang diperoleh dari besarnya uang yang dikeluarkan untuk konsumsi baik dalam
bentuk pengeluaran riil untuk beli makanan maupun pengeluaran yang tidak riil
yaitu hasil konversi untuk konsumsi makanan yang berasal dari kebun sendiri,
hasil tangkapan sendiri atau pemberian orang lain. Begitupun untuk konsumsi non
makanan.Untuk konsumsi makanan, batas dikatakan tidak miskin
yaitu tercukupinya kalori sebesar 2.100 kkal per kapita dalam sehari.
Lain
sudut pandang, lain titik tampak. Ketika kita melihat orang miskin
di Jawa dapat terjadi salah tafsir dalam pemaknaan penduduk miskin
bagi orang NTT. Di Jawa banyak penduduk miskin
hidup di kolong jembatan, sedangkan banyak sungai di NTT tidak memiliki
jembatan, karena itu pemaknaan komprehensif tentang kemiskinan akan menghindari
kita dari pemaknaan verbal, tetapi kepada locus, tempus dan historikal peradaban
NTT.
Peluang
mengkaji ulang selalu ada,tetapi bila kita melihat konsep kemiskinan dalam
konteks kepentingan negara hadir untuk mensejahterakan penduduk kita dapat
mengambil peran untuk mengkampanyekan pentingnya pola makan yang sehat dan
meningkatkan teknik pengolahan makanan kita sebagai prasyarat tercukupinya
kebutuhan kalori mininal.
Pepatah
Inggris mengatakan you are what you eat. Standar 2.100 kkal tidak harus dalam
bentuk nasi, tidak harus daging, kalori bisa dari beragam bahan makanan lokal
yang kita miliki seperti uta tabha di Bajawa, uwi ai ndota di Ende, sayur
marungga, asalkan total kalori 2.100 kkal terpenuhi karena sejumlah itulah
standar kebutuhan kalori minimal bagi seseorang dapat bertahan hidup. Dengan
pengakuan, kita akan mengambil peran.Konsep kemiskinan akan menjadi solusi,
bukan lagi masalah.
Semoga
kita tidak sampai pada pameo, kemiskinan hanya bisa dimengerti orang miskin.
Jepang bisa "lari" karena adanya pengakuaan akan kepentingan bersama
untuk menjadi negara adi daya setelah kalah total dari Sekutu. Solo naik pesat
karena ingin maju.Orang Dayak berkembang karena tidak mau disebut terisolir.
NTT pun maju bila kita menyadari kepentingan besar untuk mensejahterakan penduduk
di daerah dimana berjuta simfoni mengalun tanpa henti.
Sumber: http://kupang.tribunnews.com/2017/03/08/ntt-dan-alunan-berjuta-simfoni
Berita Terkait
Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur (Statistics of Nusa Tenggara Timur Province)Jl. R. Suprapto No. 5 Kupang - 85111
Telp (0380) 826289
821755
Faks (0380) 833124
Mailbox : pst5300@bps[dot]go[dot]id
bps5300@bps[dot]go[dot]id
Tentang Kami