16 Januari 2017 | Kegiatan Statistik Lainnya
Oleh:
Novianti Banunu
(Kepala
Seksi Statistika-Kesra, BPS Provinsi NTT)
Pasca rilisnya angka kemiskinan Nusa Tenggara Timur(NTT) September 2016, kemiskinan menjadi topik yang marak untuk diperbincangkan banyak pihak. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan memang merupakan persoalan mendasar oleh negara manapun. BPS mencatatkan angka kemiskinan NTT sebesar 22,01% dari total 5,22 juta jiwa yaitu sebesar 1,15 juta jiwa. Pertanyaannya kemudian adalah dari manakah angka 1,15 juta jiwa berasal.
Secara
umum kemiskinan merupakan kondisi ketidakmampuan seseorang atau sekelompok
orang dalam memenuhi hak-hak dasar (kebutuhan pangan, non pangan, rasa aman,
partisipasi sosial-politik dan sebagainya) untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Dalam mengukur kemiskinan sendiri
terdapat berbagai pendekatan baik secara kuantitatif (Digambarkan melalui
standar pemenuhan kebutuhan pokok ataupun melalui distribusi pendapatan
penduduk) maupun secara kualitatif (Opini individu terhadap kondisi
kehidupannya; variabel-variabel individu, rumah tangga ataupun pendekatan
partisipasif lainnya).
Perhitungan
kemiskinan oleh BPS sendiri sudah dilakukan semenjak tahun 1984. Mulai tahun
1998, BPS menyempurnakan pendekatan-pendekatan kuantitatif dalam
perhitungannya, yaitu kemiskinan secara absolut dilihat melalui
ketidakkemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Pendekataan ini digunakan
karena selain dapat menerjemahkan definisi kemiskinan menjadi lebih aplikatif,
pendekatan ini juga meansurable, pengukuran dilakukan secara objektif dan data
dapat dihimpun antar waktu serta adanya berkorelasi kuat dengan variabel
kemiskinan lainnya. Melalui pendekatan ini dapat dihasilkan indikator
kemiskinan makro yaitu jumlah dan persentase penduduk miskin di suatu wilayah,
perkembangannya antar waktu serta tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan.
Dalam
pendekatan kebutuhan dasar, seseorang atau sekelompok orang di suatu wilayah
dikatakan miskin apabila tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan
makanan (Perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan) yang paling minimal di
wilayah tersebut. Kebutuhan dasar untuk makanan secara operasional disetarakan
melalui terpenuhinya konsumsi kalori paling minimal yakni sebesar 2100 kkal per
kapita dalam sehari (Kebutuhan kalori minimal untuk dapat hidup). Sementara
kebutuhan dasar bukan makanan melalui pemenuhan kebutuhan minimum untuk
komoditas sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan di wilayah tersebut.
Baik
kebutuhan dasar makanan dan non makanan kemudian dikonversikan menjadi batas
minimal pengeluaran konsumsi dalam nilai rupiah atau dikenal dengan Garis
Kemiskinan (GK). GK dibangun dari komponen Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan
Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Konversi kebutuhan dasar menjadi GK itu
sendiri diperhitungkan melalui konsumsi riil sekelompok paket komoditas (baik
makanan dan bukan makanan) oleh sebanyak 20 persen penduduk yang tepat berada
di atas garis kemiskinan semantara (GK periode sebelumnya yang direkleksikan
pada kondisi saat perhitungan).
Kondisi
September 2016 tercatat GKM adalah Rp.258.985,- berarti bahwa seorang penduduk
NTT dalam memenuhi 2100 kkal per hari, paling sedikit harus mengeluarkan
Rp.258.985 dalam sebulannya. Sementara itu nilai rupiah paling minimum bagi
seseorang penduduk di NTT untuk memenuhi kebutuhan non makanan (perumahan,
sandang, kesehatan, pendidikan) dalam sebulan sebesar Rp.68.018,-. Dengan
demikian 1,15 juta jiwa tersebut adalah mereka yang rata-rata pengeluaran per
kapitanya untuk makanan dan bukan makanan dalam sebulannya tidak lebih dari Rp.
327.003,-
Selain
jumlah dan persentase penduduk miskin, indikator penting lainnya yang tepat
menggambarkan kemiskinan secara makro adalah tingkat keparahan dan kedalaman
kemiskinan. Tingkat keparahan kemiskinan menggambarkan jarak antara GK dan
pengeluaran masing-masing penduduk miskin. Sebaran penduduk miskin dekat GK
menunjukkan peluang besar untuk melampaui GK ketika diberikan stimulus yang
tepat. Sementara tingkat kedalaman kemiskinan menunjukkan sebaran pengeluaran
antar penduduk miskin.
Perkembangan
kedua indeks ini hingga September 2016 menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran
penduduk miskin cendrung bergerak mendekati GK dan kesenjangan pengeluaran
antara penduduk miskin makin menyempit.
Lalu
bagaimana BPS mendapatkan nilai konsumsi makanan dan bukan makanan penduduk
NTT? BPS memotret kondisi sosial dan ekonomi rumah tangga di 22 kabupaten/kota
melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan survei harga pasar dan
perhitungan inflasi setiap bulannya. Susenas menghimpun keterangan mengenai
kuantitas dan nilai konsumsi dan pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan
dari 10.880 rumah tangga sampel pada bulan Maret dan September. Keterangan
makanan meliputi makanan, minuman dan tembakau yang dikonsumsi rumah tangga
dalam seminggu terakhir, baik itu konsumsi makanan yang disiapkan di rumah
maupun makanan jadi dari sebanyak 222 komoditas. Sementara untuk komoditas
bukan makanan dihimpunkan keterangan dalam rentang waktu konsumsi sebulan
terakhir dan setahun terakhir dari sebanyak 116 komoditas.
Kemiskinan
NTT erat kaitannya dengan nilai rupiah per kkal yang dikonsumsi penduduk, ragam
komoditas makanan serta akses penduduk terhadap kebutuhan komoditas bukan
makanan. Alokasi pengeluaran penduduk miskin NTT paling banyak ditujukan untuk
konsumsi makanan (65 persen). Jika dipilah berdasarkan jenis komoditas
makanannya, maka sebagian besar pengeluaran makanannya digunakan untuk
mengonsumsi beras dan rokok sementara konsumsi makanan berprotein masih
merupakan bagian yang kecil. Secara praktis, dengan Rp.100.000,- di tangannya
untuk konsumsi makanan, maka penduduk miskin akan membelanjakan beras sekitar
43 ribu, rokok sekitar 7 ribu sementara share untuk mengonsumsi ikan sekitar
5-6 ribu dan telur/susu tidak mencapai 2 ribu.
Perubahan harga bahan makanan dan ketersediaannya akan sangat
memengaruhi harga per kkal yang dikonsumsi penduduk miskin sehingga alokasi
untuk mengonsumsi makan semakin besar dan komoditas yang dikonsumsi cenderung
tetap bahkan berkurang.
Sumber : https://timorexpress.fajar.co.id/2017/01/16/memaknai-angka-kemiskinan-ntt/
Berita Terkait
Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur (Statistics of Nusa Tenggara Timur Province)Jl. R. Suprapto No. 5 Kupang - 85111
Telp (0380) 826289; 821755; Faks (0380) 833124
Mailbox : pst5300@bps[dot]go[dot]id
bps5300@bps[dot]go[dot]id
Tentang Kami