[OPINI] Rompi Oranye Koruptor, Siapa Berikutnya? - Berita - Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur

Untuk layanan konsultasi data silahkan hubungi kami melalui 082247291975 (whatsapp only) atau melalui email pst5300@bps.go.id

Anda merasa pelayanan kami kurang optimal? Laporkan pengaduan anda disini 

| Anda hobi menulis? Submit Karya Ilmiahmu di Jurnal Statistika Terapan (JSTAR) BPS Provinsi NTT melalui tautan jstar.id

[OPINI] Rompi Oranye Koruptor, Siapa Berikutnya?

[OPINI] Rompi Oranye Koruptor, Siapa Berikutnya?

22 Februari 2018 | Kegiatan Statistik Lainnya


 

POS KUPANG.COM -- Awal tahun 2018 hingga minggu ketiga di bulan Februari, publik dikejutkan berita penangkapan dan penahanan sosok-sosok penting di berbagai daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Mereka yang tertangkap melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK mulai dari pengusaha, anggota dewan yang terhormat, hingga kepala dinas/pejabat pemerintah daerah setempat.

Bahkan kepala daerah, bupati dan gubernur, yang harusnya punya integritas dan menjadi teladan dalam pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) justru malah terjerat kasus korupsi dan ikut tertangkap oleh KPK.

Sungguh kondisi yang ironis ketika uang yang harusnya digunakan untuk mensejahterakan rakyat justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan kroni-kroni dengan jalan korupsi.

Tragisnya yang melakukan perbuatan tersebut adalah mereka yang menyebut dirinya sebagai para pemimpin dan pelayan rakyat.

Kepala daerah yang terjaring OTT KPK di tahun 2018 ini dimulai dari Bupati Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Abdul Latif.

Bupati Abdul Latif ditangkap KPK pada tanggal 4 Januari 2018 terkait dugaan suap pembangunan rumah sakit daerah. Selanjutnya KPK menangkap Bupati Jombang, Jawa Timur, Nyono Suharli Wihandoko, pada tanggal 3 Februari 2018.

Bupati Nyono ditangkap atas dugaan suap terkait penempatan jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Jombang. Kemudian pada tanggal 11 Februari 2018 KPK menangkap dan menetapkan Bupati Ngada, Marianus Sae, yang juga calon Gubernur NTT pada Pilkada serentak tahun 2018 sebagai tersangka dalam dugaan kasus suap proyek-proyek infrastruktur.

Tanggal 13 Februari 2018, KPK menangkap Bupati Subang, Jawa Barat, Imas Aryumningsih. Bupati Imas ditangkap karena terkait dengan dugaan suap dalam pemberian izin pembangunan pabrik.

Selanjutnya ada Bupati Lampung Tengah, Mustafa, tertangkap KPK pada tanggal 15 Februari 2018 dengan dugaan suap pinjaman APBD.

Sudah selayaknya, rakyat memberikan apresiasi kepada KPK yang telah bekerja keras untuk menjerat para "maling" uang rakyat. Sepertinya negeri ini masih membutuhkan KPK sebagai panglima di garda terdepan dalam memberantas berbagai kasus korupsi yang masih marak terjadi di berbagai wilayah.

Visi KPK, "Bersama Elemen Bangsa Mewujudkan Indonesia Yang Bersih Dari Korupsi", harus terus menerus disuarakan. Selama para koruptur masih berkeliaran bebas merampok uang rakyat maka eksistensi dan kinerja KPK harus terus didukung oleh seluruh pihak.


Koruptor vs KPK

KPK dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sepak terjangnya dalam memberantas korupsi di negeri ini patut di acungi jempol.

Sejak berdiri tahun 2002 hingga sekarang sudah begitu banyak uang rakyat yang terselamatkan dari ulah para koruptor. Mereka yang tertangkap KPK pun harus menerima ulah perbuatannya dengan mendekam dibalik jeruji penjara.

KPK diberi amanat oleh Undang-Undang untuk melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif dan berkesinambungan.

Pembentukan KPK bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang sudah ada sebelumnya. Peran KPK justru sebagai trigger mechanism yang berarti mendorong atau menstimulus kinerja lembaga-lembaga yang sudah ada seperti Kejaksaan dan Polri untuk semakin intens, efektif dan efisien dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.

Salah satu tugas pokok KPK adalah melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK).

Selain itu melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK.

Tugas lain yang tak kalah penting adalah melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK serta melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Kasus yang ditangani oleh KPK adalah termasuk dalam korupsi skala besar (grand corruption). Sedangkan untuk kasus tindakan korupsi skala kecil (petty corruption) maka penanganannya dilakukan oleh pihak kepolisian dan kejaksaan yang punya struktur hingga ke tingkat bawah (Polsek maupun Kejari).

Untuk mengukur sejauh mana penilaian masyarakat tentang perilaku korupsi yang terjadi maka dilakukan Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK).

Penyelenggara survei ini adalah Badan Pusat Statistik (BPS). Pengukuran perilaku masyarakat dalam SPAK hanya yang berkaitan dengan tindakan korupsi skala kecil (petty corruption).

Hasil dari survei ini akan menghasilkan suatu indeks yang disebut dengan Indeks
Perilaku Anti Korupsi (IPAK). Nilai IPAK berada pada rentang nilai 0 (nol) sampai dengan 5 (lima).

Nilai indeks semakin mendekati 0 (nol) menunjukkan bahwa perilaku masyarakat semakin menerima atau dapat dikatakan permisif terhadap tindakan-tindakan korupsi yang terjadi.

Sedangkan nilai indeks yang mendekati 5 (lima) maka menunjukkan bahwa perilaku masyarakat semakin anti korupsi. Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2017 adalah 3,71. Artinya masyarakat Indonesia tergolong dalam masyarakat yang anti terhadap praktik-praktik korupsi yang terjadi pada pelayanan publik.

Masyarakat anti korupsi adalah mitra terbaik para aparat penegak hukum dalam memerangi korupsi yang hingga kini masih terus saja marak terjadi.

Masyarakat harus bersatu padu dengan POLRI, Kejaksaan, bahkan KPK dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Masyarakat anti korupsi adalah masyarakat yang turut aktif dalam mengawal pembangunan agar pemerintahan berjalan dengan kinerja dan juga anggaran yang transparan.

Indonesia tidak kekurangan orang pintar tetapi justru kekurangan orang-orang berintegritas. Dengan mudahnya para koruptor menjual harga dirinya hanya untuk memperkaya diri sendiri dengan korupsi melalui berbagai modus operandi.

Banyaknya penyelenggara negara yang tertangkap oleh KPK adalah sebuah indikasi yang kini menyadarkan banyak pihak. Ternyata godaan memperoleh kelimpahan materi dengan melakukan korupsi lebih dominan dan kuat untuk diaplikasikan ketimbang mempertahankan nama baik dan integritas diri.

 

Rompi Oranye Berikutnya

Potensi terjadinya tindakan korupsi pada tahun ini menjadi lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya karena adanya gelaran Pilkada Serentak tahun 2018 di 171 daerah. Anggaran pemerintah daerah rawan untuk disalahgunakan apalagi oleh para kepala daerah yang maju kembali pada Pilkada 2018.

Beberapa petahana yang sudah ditetapkan lolos sebagai peserta Pilkada 2018 oleh KPUD setempat, nyatanya harus mengenakan rompi oranye sebagai tahanan KPK akibat terlibat kasus korupsi.

Untuk sementara mereka harus menepi dari hiruk pikuk agenda Pilkada. Mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya yang mencederai kepercayaan dan amanah rakyat untuk kemudian diproses secara hukum. Mungkinkah masih ada koruptur-koruptor lain yang masih bebas berkeliaran merampok uang rakyat jelang Pilkada 2018?

Bagaimanapun juga, cepat atau lambat bau busuk aroma korupsi akan terendus oleh aparat penegak hukum dan KPK. Ketika bukti-bukti sudah dikumpulkan dan OTT kemudian dilaksanakan maka dipastikan akan ada lagi yang menggunakan rompi oranye sebagai tahanan KPK. Siapa berikutnya?

Sumber: http://kupang.tribunnews.com/2018/02/22/rompi-oranye-koruptor-siapa-berikutnya

Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur (Statistics of Nusa Tenggara Timur Province)Jl. R. Suprapto No. 5 Kupang - 85111

Telp (0380) 826289; 821755; Faks (0380) 833124

Mailbox : pst5300@bps[dot]go[dot]id

bps5300@bps[dot]go[dot]id

logo_footer

Hak Cipta © 2023 Badan Pusat Statistik