23 April 2018 | Kegiatan Statistik Lainnya
Oleh: Andrew Donda Munthe
ASN
pada BPS Kota Kupang, Mahasiswa Pascasarjana IPB Bogor
POS KUPANG.COM -Bangsa Indonesia memiliki salah satu
pahlawan yang memperjuangkan kesetaraan gender di negeri ini. Tokoh perempuan
dengan perjalanan hidup yang luar biasa itu bernama R.A. Kartini.
Bahkan untuk menghormati jasa-jasa beliau,
maka setiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini.
Sosoknya dikenal sebagai pahlawan yang memperjuangkan hak-hak perempuan pada
masanya.
Bahkan W.R. Supratman menuangkan kekagumannya
pada sosok ini dalam lagu "Ibu Kita Kartini". Lagu yang bercerita
tentang seorang putri Indonesia yang berjuang "memerdekakan" kaum
perempuan dari berbagai ketidakadilan.
Pemikiran, kegelisahan, gagasan, hingga
pemberontakan Kartini tercurah pada surat-surat yang dituliskannya. Surat-surat
Kartini inilah yang kemudian dikumpulkan dan diterbitkan pada tahun 1911
menjadi sebuah buku berjudul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah
Terang).
Masalah yang dialami oleh Kartini pada
zamannya, ternyata masih banyak terjadi hingga kini.
Realitas yang memang benar-benar nyata terjadi
ketika perempuan di Indonesia belum sepenuhnya "merdeka" dari beragam
jerat persoalan kehidupan sehari-hari. Salah satunya banyak perempuan di
Indonesia yang masih terbelenggu pada masalah ketidakberdayaannya dalam meraih
pendidikan tingkat lanjut.
Selain itu, perempuan Indonesia punya
keterbatasan dalam mengungkapkan gagasan serta tidak punya kebebasan dalam
memilih pilihan yang terbaik bagi dirinya sendiri. Lalu bagaimana kondisi
perempuan di NTT?
Kondisi perempuan di NTT juga tak lepas dari
banyak persoalan. Mulai dari persoalan pendidikan, ketenagakerjaan, hingga
masalah kesehatan.
Pada
sektor pendidikan, perempuan NTT secara umum sebagian besarnya hanya mampu
mengenyam pendidikan dasar. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2016
mencatat hanya ada sekitar 70,32 persen perempuan berumur sepuluh tahun ke atas
yang pernah mengikuti jenjang pendidikan dasar.
Perempuan yang mampu menamatkan pendidikan
dasar (SD) hanya sebesar 37,58 persen. Sedangkan perempuan yang tidak mampu
menyelesaikan pendidikan dasar karena berbagai kendala dan keterbatasan adalah
sebesar 32,74 persen.
Jumlah perempuan yang kemudian melanjutkan
pendidikan dari sekolah dasar terus mengalami penurunan secara drastis untuk
tingkatan jenjang yang lebih tinggi (BPS, Publikasi Provinsi Nusa Tenggara
Timur Dalam Angka 2017).
Perempuan NTT faktanya kurang diberi
kesempatan mengembangkan diri melalui jalur formal untuk bersekolah pada
jenjang pendidikan tingkat lanjut. Banyak orang tua di NTT yang merasa
"cukup" ketika anak-anak perempuan mereka sudah dapat membaca dan
menulis di jenjang pendidikan dasar.
Himpitan ekonomi membuat banyak perempuan NTT
terpaksa harus membantu mengurus rumah tangga, menikah dini atau bekerja
serabutan daripada memilih untuk melanjutkan pendidikan.
Dengan tingkat pendidikan perempuan NTT yang
rendah berimplikasi pada sulitnya mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang
memadai.
Sebagian besar perempuan NTT berusia 15 tahun
ke atas hanya mampu bekerja di sektor primer (bidang pertanian) dengan
persentase mencapai 53,07 persen (Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional Tahun
2016). Status perempuan yang bekerja tersebut pun mayoritasnya hanya sebagai
pekerja keluarga atau pekerja tak dibayar.
Tingkat pendidikan yang rendah serta minimnya
upaya edukasi kepada perempuan NTT, termasuk kaum ibu, memberi dampak yang
negatif pada kesehatan diri sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Bahkan permasalahan yang kerap kali
"menghantui" perempuan dan kaum ibu di NTT adalah terkait kesehatan bayi
dan balita.
Banyak kaum ibu di NTT yang tidak memberikan
Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif selama 6 bulan pertama masa pertumbuhan
kepada bayinya. Selain itu, pengetahuan kaum ibu yang rendah tentang imunisasi
membuat bayi dan balita rentan akan serangan berbagai penyakit.
Belum
lagi permasalahan terkait kasus balita berstatus gizi buruk. Gizi buruk balita
masih marak dijumpai di seluruh kabupaten/kota di provinsi ini dengan total
mencapai 3.072 kasus pada tahun 2016. Hal-hal diatas menambah daftar panjang
permasalahan yang dihadapi oleh perempuan dan kaum ibu di NTT.
Perjuangan nilai-nilai luhur yang telah
dimulai oleh Kartini harus segera disebarluaskan, dipahami dan diimplementasi
oleh berbagai elemen masyarakat di seluruh NTT. Terutama bagi kaum perempuan
dan kaum ibu.
Kartini menyatakan bahwa perempuan adalah
pembawa peradaban. Dari perempuanlah, setiap anak terlahir untuk dapat belajar
banyak hal tentang dunia ini.
Dalam dekapan ibu, anak-anak mendapat
pendidikan awal untuk bisa merasakan respons, berbicara, hingga berjalan.
Perempuan dan kaum ibu yang terdidik dengan baik akan menghasilkan anak-anak
yang terdidik pula.
Anak-anak inilah yang kelak akan tumbuh dan
berkembang menjadi generasi penerus bangsa ini.
Harapan akan masa depan yang lebih baik harus
tetap menyala ditengah-tengah realitas pahit akan nasib terpuruk yang dialami
oleh banyak perempuan dan kaum ibu di NTT.
Diperlukan kejujuran, partisipasi aktif serta
keterbukaan dari berbagai pihak untuk lebih memberikan peran terhadap perempuan
dan kaum ibu di NTT. Harus ada gerakan nyata untuk segera dilakukan.
Misalnya saja tentang edukasi dan sosialisasi
terkait pemberian ASI Eksklusif, imunisasi, nutrisi tambahan makanan untuk
balita maupun tentang pola hidup sehat.
Untuk membantu perekomomian keluarga,
perempuan NTT juga harus diberikan pengetahuan serta keterampilan yang berdaya
guna. Pemerintah daerah misalkan membuat sentra-sentra usaha yang anggotanya
diberi keterampilan tentang pembuatan suatu produk, cara mengelola keuangan,
hingga pada permasalahan pemasaran.
Dengan demikian para perempuan dan kaum ibu
dapat mulai beralih dari usahanya yang bernilai kurang ekonomis sebagai pekerja
keluarga/pekerja tak dibayar di sektor pertanian.
Usaha
yang dikelola oleh perempuan dan kaum ibu di NTT punya potensi yang sangat
besar untuk berhasil apabila didukung dengan baik oleh berbagai pihak. Misalkan
saja usaha kain tenun ikat hasil olahan para perempuan NTT digunakan untuk
seragam sekolah atau seragam kantor pada hari tertentu.
Dengan permintaan pembuatan kain tenun yang
tinggi maka akan menggerakkan roda perekonomian masyarakat terutama bagi kaum
perempuan.
Penggunaan kain tenun yang begitu massal di
masyarakat juga akan memberikan dampak pada daya tarik wisatawan domestik dan
mancanegara untuk membeli berbagai produk olahan hasil tenun tersebut.
Masih banyak sektor lain yang bisa
dikembangkan oleh perempuan dan kaum ibu di NTT seperti pada sektor
perdagangan, industri pengolahan makanan minuman, hingga ke sektor-sektor
industri kreatif lainnya.
Peringatan Hari Kartini dapat
menjadi bahan perenungan bersama. Ternyata masih banyak perempuan Indonesia,
termasuk di NTT, yang belum sepenuhnya "merdeka" menikmati kebebasan
di bumi pertiwi.
Sudah saatnya kaum perempuan NTT benar-benar
menikmati kemerdekaan seperti yang diperjuangkan oleh Kartini. Menjadi
perempuan "utuh", "mandiri" dan "bertanggung
jawab".
Menjadi perempuan-perempuan tangguh yang
memberi konstribusi nyata dan berperan penting bagi kemajuan bangsa dan negara
Indonesia dalam menghadapi era globalisasi.
Sumber:
Berita Terkait
[OPINI] Memaknai Angka Kemiskinan NTT
[OPINI] NTT dan Alunan Berjuta Simfoni
[OPINI] Pariwisata: Potensi Pendongkrak Perekonomian NTT
[OPINI] Pilgub NTT Kampanye Tanpa Data: Omong Deng?
[OPINI] Potensi Tanaman Pangan NTT Belum Dikelola Maksimal, Begini Penjelasannya
51,13% perempuan di NTT bekerja sebagai tenaga profesional
Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur (Statistics of Nusa Tenggara Timur Province)Jl. R. Suprapto No. 5 Kupang - 85111
Telp (0380) 826289; 821755; Faks (0380) 833124
Mailbox : pst5300@bps[dot]go[dot]id
bps5300@bps[dot]go[dot]id
Tentang Kami