[OPINI] Menerka Disparitasi Ekonomi di Tengah Akresi Harga Transportasi Udara - Berita - Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur

Untuk layanan konsultasi data silahkan hubungi kami melalui 082247291975 (whatsapp only) atau melalui email pst5300@bps.go.id

Anda merasa pelayanan kami kurang optimal? Laporkan pengaduan anda disini 

| Anda hobi menulis? Submit Karya Ilmiahmu di Jurnal Statistika Terapan (JSTAR) BPS Provinsi NTT melalui tautan jstar.id

[OPINI] Menerka Disparitasi Ekonomi di Tengah Akresi Harga Transportasi Udara

[OPINI] Menerka Disparitasi Ekonomi di Tengah Akresi Harga Transportasi Udara

26 Maret 2019 | Kegiatan Statistik Lainnya


Oleh : Muhammad Amir Ma’ruf

Staf Seksi Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik BPS Kabupaten Alor

 

Bagi perantau antar-pulau, transportasi udara merupakan pilihan yang logis untuk sekadar menengok sanak-saudara di rumah atau saat melakukan perjalanan dinas. Efisiensi waktu menjadi alasan utama selain tidak adanya alternatif transportasi yang feasible untuk digunakan. Sudah barang tentu, fluktuasi harga tiket sangat berpengaruh pada besar-kecilnya pengeluaran. Mahalnya harga tiket pesawat selama sekitar caturwulan terakhir plus penghapusan bagasi cuma-cuma oleh salah satu maskapai penguasa rute domestik seakan manambah jarak antar-pulau di negeri ini semakin menjauh. Kondisi ini menyebabkan merosotnya tingkat okupansi pesawat pada beberapa rute, terutama pada destinasi pariwisata seperti yang terjadi pada 13 bandara di NTT yang mengalami penurunan jumlah penumpang rata-rata sebesar 28,95 % pada periode Januari 2019 dibanding Desember 2018 (Sumber : BPS). Kemudian di Bali, Tingkat Penghunian Hotel (TPK) bulan Januari 2019 turun 4,35 % dibanding bulan Desember 2018. Hal ini juga ditengarai oleh menurunnya jumlah kedatangan wisatawan mancanegara yang melalui Bandar Udara Ngurah Rai sebesar 8,72 % pada periode yang sama. Lain halnya di Aceh, orang-orang berbondong-bondong datang ke Kantor Imigrasi  membuat paspor hanya untuk sekadar transit di Kuala Lumpur dan melanjutkan penerbangan ke Jawa dengan dalih harga tiket yang lebih murah.

Masalah akresi harga pada transportasi udara ternyata tidak berhenti sampai disitu saja,  tarif kargo pun naik sekira 300 % sejak Juni 2018 hingga Januari 2019. Hal ini membuat perusahaan logistik yang melayani pengiriman ekspres kalang kabut. Tentu saja, mau tidak mau mereka akan menaikkan tarif pengiriman ke pelanggannya. Bahkan, perusahaan jasa pengiriman JNE menaikkan tarif pengiriman hampir 20 % yang mulai berlaku 21 Maret 2019. Padahal, di era Industri 4.0 seperti sekarang jasa pengiriman sangat berperan penting dalam perputaran roda perekonomian digital. Penghematan cost ekonomi yang terjadi karena peralihan platform yang semula konvensional menjadi online ternyata tidak diiringi dengan ongkos logistik yang seharusnya semakin murah dengan semakin canggihnya perkembangan teknologi.


Nasib Masyarakat Terluar

Bagi sebagian masyarakat indonesia yang tinggal di Pulau Jawa dan Sumatera, kenaikkan harga berbagai layanan yang menggunakan transportasi udara mungkin bisa disiasati melalui pengalihan moda ke transportasi darat baik yang berbasis roda maupun kereta. Namun tidak dengan masyarakat yang tinggal di daerah kepulauan. Mereka sangat bergantung dengan layanan transportasi udara untuk menopang roda perekonomian mulai dari mobilitas penumpang hingga distribusi logistik. Naiknya biaya yang harus dikeluarkan ketika membeli tiket maupun mengirim barang menjadi tambahan beban yang seyogyanya tidak mereka pikul. Ketergantungan masyarakat kepulauan dengan sektor pariwisata juga turut terkena imbas dari akresi harga transportasi udara ini. Wisatawan-wisatawan menjadi urung untuk datang karena mahalnya tiket. Terlebih disaat musim hujan seperti sekarang ini, gelombang laut seringkali tidak bersahabat yang mengakibatkan tertundanya pelayaran kapal baik penyeberangan maupun kargo. Hal ini berakibat pada menurunnya jumlah wisatawan yang menjadi salah satu penyumbang PAD suatu wilayah. Tak berhenti sampai disitu, para pedagang oleh-oleh pun mengaku rugi karena menurunnya pembeli. Selain dikarenakan jumlah wisatawan yang menurun, penghapusan bagasi cuma-cuma juga memengaruhi minat wisatawan untuk membawa oleh-oleh.

Implikasi akresi harga pada berbagai layanan transportasi udara tidak hanya di sektor pariwisata. Jika ini terus berlarut, disparitas harga komoditas antara jawa dan luar jawa akan semakin tinggi. Hal ini dikarenakan lebih dari 60 % kawasan industri berada di Pulau Jawa, sehingga mahalnya biaya distribusi akan meningkatkan harga jual di daerah terluar. Disparitas harga ini juga akan menyebabkan Indeks Kemahalan Konstruksi pada daerah-daerah tersebut tinggi sehingga cost money yang dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur akan semakin mahal. Dampaknya, pembangunan akan terhambat yang dapat memengaruhi lambatnya pertumbuhan ekonomi di daerah terluar. Mahalnya biaya transportasi udara juga memengaruhi ketertarikan para penanam modal untuk berinvestasi di daerah terluar. Hal ini jelas akan merugikan pemerintah pusat. Pemerintah daerah akan terus bergantung pada “uluran” tangan pemerintah pusat karena tidak mampu menopang perekonomiannya secara mandiri. Kurangnya investasi dan mahalnya biaya pembangunan membuat pendapatan daerah tidak mampu menutupi APBD.

 

Perlu Solusi Nyata

Permasalahan tingginya biaya layanan transportasi udara baik tiket maupun kargo perlu ditangani secara hati-hati oleh pemerintah. Pencarian akar penyebab melalui breakdown seluruh komponen biaya produksi pada layanan transportasi udara mutlak dilakukan. Selama ini, kenaikkan harga avtur dan biaya perawatan pesawat selalu dijadikan kambing hitam para penyedia layanan transportasi udara ketika harga tiket terlampau mahal. Selain itu, jangan sampai ada permainan harga yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2016 yang memuat ketentuan batas atas tarif tiket pesawat sering dijadikan tameng oleh penyedia layanan. Padahal, interval batas atas dan batas bawah terlampau jauh. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, rentang harga yang terlampau jauh akan menyebabkan kondisi perekonomian tidak stabil apabila harga berfluktuasi. Interval batas bawah dan batas atas yang cukup besar memungkinkan fluktuasi harga yang tinggi. Oleh karena itu, peraturan ini harus dipertimbangkan kembali oleh pemerintah. Kita semua sepakat, keselamatan memang mahal. Tetapi akan lebih baik jika murah tapi selamat.

 

Opini ini dimuat di Koran Viktori News Kupang edisi Selasa 26 Maret 2019

Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur (Statistics of Nusa Tenggara Timur Province)Jl. R. Suprapto No. 5 Kupang - 85111

Telp (0380) 826289; 821755; Faks (0380) 833124

Mailbox : pst5300@bps[dot]go[dot]id

bps5300@bps[dot]go[dot]id

logo_footer

Tentang Kami

Manual

S&K

Daftar Tautan

Hak Cipta © 2023 Badan Pusat Statistik